Teori Belajar Behavioristik
A. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori
ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output
yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa,
sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon
tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang
diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus
dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik
adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon
dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin
kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:
(1) Reinforcement and Punishment;
(2) Primary and Secondary Reinforcement;
(3) Schedules of Reinforcement;
(4) Contingency Management;
(5) Stimulus Control in Operant Learning;
(6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah
Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas
karya-karya para tokoh aliran behavioristik.
a.Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar,
yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan
tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat
diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran
behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan
bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike
ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, yakni
(1) hukum efek;
(2) hukum latihan dan
(3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan
bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
b.Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan
respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati
(observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun
dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan
karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena
kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau
Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh
mana dapat diamati dan diukur.
c.Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi
Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah
laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup.
Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan
kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi
sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan)
dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah
laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis
(Bell, Gredler, 1991).
d.Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie
juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak
hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar
peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat
mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa
yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas
yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
e.Tori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep
para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana,
namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon
yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan
perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh
sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu,
karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi
antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang
diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah
yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu
dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan
antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon
tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan
mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya
masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian
seterusnya.
B. Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan
tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka
behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan
menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu.
Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana
sampai yang komplek (Paul, 1997)
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh
para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling
besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram,
modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan
Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak
mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau
hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah
menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya
variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang
sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai
kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya
terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda
tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus
dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh
pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori
ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa
siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik
untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang
berpengaruh yang mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak
sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik
memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran.
Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement)
cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam
proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat
dengan Guthrie, yaitu:
1) Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari
jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3) Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah
dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat
mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk
daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai
penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya
terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang
muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya,
seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika
sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi
(bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan
untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah,
sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
C. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori
dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon
atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu
atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil yang tampak, pembentukan perilaku
(shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini
semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik.
Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal
ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang
paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan
cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering
dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi
pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behvioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)ke
orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak
struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir
seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa
dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan
dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati
sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses
evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi
dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai
pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang
belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih
dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar
diri siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan
pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran
menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku
teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil
belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut
jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan
keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas
belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari
kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan
pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara
individual.
D. Pengembangan Perilaku Perspektif Teori belajar
Behavioristik
1. Prosedur-prosedur pengembangan tingkah laku baru
Di samping penggunaan reinforcement untuk memperkuat tingkah laku, ada dua
metode lain yang penting untuk mengembangkan pola tingkah laku baru yakni
shaping dan modelling.
a. Shaping
Kebanyakan yang diajarkan di sekolah adalah urutan tingkah laku yang kompleks,
bukan hanya “simple response”. Tingkah laku yang kompleks ini dapat diajarkan
melalui proses “shaping” atau “suc¬cessive approximations” (menguatkan
komponen-komponen respon final dalam usaha mengarahkan subyek kepada respon
final tersebut), beberapa tingkah laku yang mendekati respon tersekolahnal.
Bila guru membimbing siswa menuju pencapaian tujuan dengan memberikan
reinforcement pada langkah-langkah menuju keberhasilan, maka guru itu
menggunakan teknik yang disebut shaping. Reinforcement dan extinction merupakan
alat agar terbentuknya tingkah laku operant baru.
Frazier dalam (Sri Esti,2006: 139) menyampaikan penggunaan
shaping untuk memperbaiki tingkah laku belajar. Ia mengemukakan lima langkah
perbaikan tingkah laku belajar murid antara lain:
(1) Datang di kelas pada waktunya.
(2) Berpartisipasi dalam belajar dan merespon guru.
(3) Menunjukkan hasil-hasil tes dengan baik.
(4) Mengerjakan pokerjaan rumah.
(5) Penyempurnaan.
Hasil dari lima komponen untuk memperbaiki tingkah laku
menunjukkan bahwa kehadiran masuk sekolah bertambah setelah beberapa bulan.
Yang lebih penting lagi ialah para siswa menjadi lebih bisa bekerja sama di
kelas dan menggunakan waktu belajar mereka lebih efektif.
b. Modelling.
Modelling adalah suatu bentuk belajar yang dapat diterangkan secara tepat oleh
classical conditioning maupun oleh operant conditioning. Dalam modelling,
seorang individu belajar menyaksikan tingkah laku orang lain sebagai model.
Tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui modeling atau
isekolahtasi, sehingga kadang-kadang disebut belajar dengan pengajaran
langsung. Pola bahasa, gaya pakaian, dan musik dipelajari dengan mengamati
tingkah laku orang lain. Modelling dapat terjadi, baik dengan “direct
reinforcement” maupun dengan “vicarious reinforcement”. Sekolahsalnya,
seseorang yang menjadi idola kita menawarkan produk tertentu di layar TV. Kita
akan merasa senang jika bisa memakai produk serupa.
Sangat mungkin kita belajar meniru karena di-reinforced
untuk melakukannya. Hampir sebagian besar anak mempunyai pengalaman belajar
pertama termasuk reinforcement langsung dengan meniru model (orang tuanya). Hal
yang biasa jika kita mendengar bahwa anak kita dengan bangga mengatakan, bahwa
dia telah mengerjakan sebagaimana yang telah dikerjakan orang tuanya.
Modelling juga dapat dipakai untuk mengajarkan ketrampilan-ketrampilan
akadesekolahs dan motorik.
Clarizio (1981) memberi contoh bagus tentang bagaimana guru
menggunakan modelling untuk mengembangkan sekolahnat murid-murid terhadap
literatur bahasa Inggris. la memberi contoh membaca buku bahasa Inggris
kadang-kadang tertawa terbahak-bahak, tersenyum, mengerutkan dahi dan
sebagainya, untuk membangkitkan sekolahnat anak terhadap buku itu.
Modelling bisa diterapkan di SEKOLAH dengan mengambil guru
maupun orang lain atau anak lain yang sebaya sebagai model dari suatu tingkah
laku, mungkin pelajaran akidah akhlak, Qur’an Hadits, Bahasa Arab, Bahasa
Inggris, dan lain-lain. Berkaitan dengan pengajaran keterampilan motorik dan
akadesekolahs. Suatu sekolahsal siswa diajak ke suatu tempat di mana terdapat sesuatu
yang bisa ditiru oleh anak atau menghadirkan model tersebut ke dalam kelas/
sekolah.
2. Prosedur-prosedur Pengendalian atau Perbaikan Tingkah
Laku.
a. Memperkuat Tingkah Laku Bersaing
Dalam usaha merubah tingkah laku yang tak diinginkan diadakan penguatan tingkah
laku yang diinginkan sekolahsalnya dengan kegiatan-kegiatan kerjasama, membaca
dan bekerja di satu meja untuk mengatasi kelakuan-kelakuan menentang, melamun,
dan hilir mudik.
Sekolahsalnya, sekelompok siswa SEKOLAH memperlihatkan
tingkah laku yang tidak diinginkan, yaitu menarik rambut, mengabaikan perintah
guru, berkelahi, berjalan sekeliling kelas. Sesudah menerapkan aturan-aturan
kelas kepada siswa, guru melupakan atau mengabaikan tingkah laku siswa yang
mengacau dan memuji tingkah laku siswa yang memberi kesempatan guru untuk
mengajar. Dalam beberapa waktu, social reinforcement untuk tingkah laku yang
tepat mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan.
b. Ekstingsi
Ekstingsi ialah proses di mana suatu operant yang telah terbentuk tidak mendapat
reinforcement lagi. Ekstingsi dilakukan dengan membuat/meniadakan
peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku. Ekstingsi dapat dipakai bersama-sama
dengan metode lain seperti “modelling dan social reinforcement”. Sekolahsalnya,
Ana salah seorang siswi kelas tiga SEKOLAH selalu mengacungkan tangan ketika
guru mesekolahnta para siswa untuk menjawab pertanyaan. Tetapi guru tidak
memberikan perhatian pada Ana yang ingin menjawab pertanyaan gurunya tersebut.
Suatu ketika Ana tidak mau lagi mengacungkan tangan ketika guru mesekolahnta
para siswa untuk menjawab pertanyannya meskipun ia bisa menjawabnya.
Guru-guru sering mengalasekolah kesulitan mengadakan
ekstingsi karena mereka harus belajar mengabaikan “sekolahsbehaviors” tertentu.
Tentu saja ada jenis-jenis tingkah laku yang tidak dapat diabaikan oleh
guru-guru terutama tingkah laku yang menyinggung perasaan murid-murid.
Ekstingsi berlangsung terutama jika reinforcement adalah per¬hatian. Apabila
murid memperhatikan ke sana ke mari, maka perubahan interaksi guru murid akan
menghentikan tingkah laku murid tersebut.
c. Satiasi
Satiasi adalah suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan perbuatan
berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. Contoh: seorang ayah yang
memergoki anak kecilnya merokok menyuruh anak merokok sampai habis satu pak
sehingga anak itu bosan.
Krumboltz dan Krumboltz (1972) menyatakan jika tingkah laku yang diulang
berbeda dengan tingkah laku yang tidak diinginkan maka satiasi tidak tepat.
Yang tepat adalah menerapkan metode disiplin seperti menulis 100 kali. Guru
sebaiknya mencoba memperkuat tingkah laku yang tepat untuk menggantikan tingkah
laku yang tidak diinginkan.
d. Perubahan Lingkungan Stimuli
Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi stimuli yang
mempengaruhi tingkah laku itu. Jika murid terganggu oleh suara gaduh di luar
kelas, ketukan jendela dapat menghentikan gangguan itu. Jika suatu tugas yang
sulit mengecewakan murid, maka guru dapat mengganti dengan tugas yang kurang
begitu sulit. Jika di kelas ada dua orang murid yang termenung saja, guru dapat
menghampiri atau duduk di dekat mereka.¬
e. Hukuman
Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya dite¬rapkan di kelas dengan
bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tak diinginkan dalam waktu
singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement. Hukuman menunjukkan apa
yang tak boleh dilakukan murid, sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti
di¬lakukan oleh murid.
Bukti menunjukkan, bahwa hukuman atas kelakuan murid yang tak pantas lebih efektif
daripada tidak menghukum.
Ada dua bentuk hukuman:
• Pemberian stimulus derita, sekolahsalnya: bentakan, cemoohan, atau ancaman.
• Pembatalan perlakuan positif, sekolahsalnya: mengambil kembali suatu mainan
atau mencegah anak untuk bermain-main bersama teman-temannya.
Harus kita ingat dalam memberikan hukuman, bahwa hukuman
sering tidak disetujui oleh kelompok teman sebaya. Sia-sialah guru menghukum
seorang anak jika teman–temannya kelihatan tidak setuju terhadap hukuman itu.
Hukuman hendaknya dilaksanakan Iangsung, secara kalem, diser¬tai reinforcement
dan konsisten.
3. Langkah-langkah Dasar Modifikasi Tingkah Laku
Berikut ini adalah langkah-langkah bagi guru SEKOLAH dalam
mengadakan analisa dan modifikasi tingkah laku pada peserta didik:
Mendefinisikan dan menyatakan secara operasional tingkah
laku yang dapat diubah. Contoh, guru mendefinisikan dan menyatakan secara
operasional tingkah laku yang akan diubah. Guru menulis tingkah laku khusus
pada papan yang ditempelkan di kelas: (a) ”Saya akan tetap di tempat duduk,
kecuali diberi izin untuk meninggalkannya” dan (b) ”Saya tidak akan bicara
dengan teman dan gaduh selama mengikuti pelajaran.
Melakukan pengamatan terhadap frekuensi tingkah laku yang
perlu diubah. Sekolahsalnya, berapa kali siswa meninggalkan tempat duduk dalam
waktu satu jam atau selama pelajaran berlangsung? Guru kemudian membuat catatan
rata-rata pelanggaran dari aturan yang dia buat. Dia mengacak 12 observasi yang
dia lakukan selama 5 menit tiap hari dalam beberapa hari. Ditemukan bahwa rata-rata
siswa meninggalkan tempat duduk 12 kali. Bicara dengan teman selama mengikuti
pelajaran rata-rata 15 kali dalam satu hari. Dan sebagainya.
Menciptakan situasi belajar atau treatment sehingga terjadi
tingkah laku yang diinginkan. Sebelum memulai reinforcement untuk tingkah laku
yang tepat, cobalah periksa untuk menentukan apakah individu dapat mengatasi
hambatan sehingga sampai pada tingkah laku yang diinginkan seperti dengan
persekolahntaan verbal atau dengan mengembangkan suatu situasi di mana tingkah
laku yang kita inginkan itu barangkali terjadi. Contoh, “marilah anak-anak kita
bersihkan masjid agar bisa kita pakai untuk sholat berjamaah.”
Mengidentifikasi “reinforcers” yang potensial. Suatu stimuli
tidak diperkuat secara tepat. Selain itu, apakah diperkuat pada suatu waktu
tidak akan diperkuat lagi. Contoh, guru menciptakan ‘menu’ dari reinforcement
dengan mesekolahnta siswa untuk mengisi suatu survey reinforcement. Angket ini
menanyakan tentang kegiatan yang mereka lakukan di kelas, makanan cesekolahlan
yang mereka sukai, barang-barang yang mereka sukai, dan lain-lain.
Memperkuat tingkah laku yang diinginkan, dan jika perlu
menggunakan prosedur-prosedur untuk memperlemah tingkah laku yang tidak pantas.
Sekolahsalnya, guru memberi system token kepada kelas. Ia menjelaskan bagaimana
setiap siswa akan mendapatkan angka setiap kali guru ‘menangkap’ siswa
mengikuti aturan kelas. Angka ini dicatat oleh guru pada kartu identitas dan
kemudian akan dibagikan pada hari tertentu.
Menyusun rekaman/ catatan tingkah laku yang diperkuat untuk
menentukan kekuatan-kekuatan atau frekuensi respon telah bertambah. Dengan
membandingkan kemajuan pada waktu perlakuan (treatment) atau pada waktu belajar
pada awal atau pada pertengahan belajar, kita akan tahu apakah kemungkinan
reinforcement akan mempunyai dampak pada modifikasi tingkah laku. Jika
reinforcement tidak berpengaruh pada tingkah laku, kita kemudian harus
menentukan mengapa hal itu terjadi kemudian membuat penyesuaian. Sekolahsalnya,
guru berusaha mesekolahnimalisir tingkah laku siswa yang tidak diinginkan agar
pada gilirannya tingkah laku tersebut tidak muncul sama sekali.
a. Pengajaran Terprogram
Pengajaran terprogram menerapkan prinsip-prinsip “operant
conditioning” bagi belajar siswa di sekolah. Pengajaran ini ber¬langsung
seperti halnya paket pengajaran diri sendiri yang menyajikan suatu topik yang
disusun secara cermat untuk dipelajari dan dikerjakan oleh murid. Tiap-tiap
pekerjaan murid langsung diberi “feedback”. Program dapat tertuang dalam
buku-buku, mesin-mesin meng¬ajar, atau komputer (Computer Asisten Instruction).
Pengajaran terprogram berusaha memajukan belajar dengan:
(1) Memerinci bahan pelajaran menjadi unit-unit kecil.
(2) Memaksa murid mereaksi unit-unit kecil itu.
(3) Memberitahukan hasil belajar secara langsung, dan
(4) Memberi kesempatan untuk bekerja sendiri.
Ada bermacam-macarn pengajaran terprogram, antara lain:
(1) Program linear: program ini dikembangkan oleh Skinner. Penyusun Program
menentukan urut-urutan kegiatan murid untuk menyelesai¬kan program. Tiap bagian
program berisi perincian kecil pengetahuan.
(2) Program intrinsik atau “branching program”: Program ini dikem¬bangkan oleh
Croder. Dalam program ini respon-respon murid menentukan rute atau arah
kegiatan murid-murid menentukan rute atau arah kegiatan murid itu. Rute-rute
alternatif disebut “branches” yang merupakan prediktor-prediktor permasalahan
yang akan mem¬perbaiki respon murid, Crowder menggunakan peryataan-per¬nyataan
pilihan ganda.
Dalam pengajaran terprogram ada tiga kelakuan pokok murid
dalam belajar, yaitu review, under-lining, dan note taking. Beberapa kriteria
terhadap metode peng¬ajaran terprogram, antara lain : kurang mengembangkan
kreatifitas, kurang memberi pengalaman humanisasi, kurang memberi kesempatan
untuk merespon dengan berbagai aktivitas.
b. Program Pengajaran Individual
Prinsip-prinsip pengajaran terprogram telah diterapkan dalam
program-program pengajaran individual. Program pengajaran individ¬ual telah
dikembangkan pada beberapa lembaga pendidikan seperti:
(1) Program for learning in Accordance With Needs (PLAN), pada Westinghouse
Corporation.
(2) Individually Guide Education (IGE), pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Belajar Kognitif Universitas Pittsburgh.
Program pengajaran individual disusun dalam bentuk unit-unit
belajar-mengajar dengan rumusan tujuan, bahan pelajaran, dan cara-cara untuk
mencapai tujuan pembelajaran.
Tiap-tiap unit belajar mengajar dimulai dengan tujuan
belajar yang akan dicapai oleh murid, baru kemudian aktivitas belajarnya. Aktivitas
belajar terdiri atas bahan-bahan pelajaran, pertanyaan tes, dan
pertanyaan-pertanyaan diskusi. Jika murid dapat menyelesaikan tes-tes dengan
baik, ia melanjutkan belajar pada unit-unit berikutnya. Jika ia gagal, ia
hendaknya berkonsultasi dengan guru.
Bagi siswa SEKOLAH, sistem ini dipakai untuk memantau
kemajuan dan performance siswa dengan selalu didampingi oleh guru terutama bagi
kelas rendah di SEKOLAH. Dengan menentukan Standar Kompetensi, Kompetensi
Dasar, serta Indikator siswa diarahkan dalam kegiatan belajar atau les baik
privat maupun non privat. Dalam hal ini, bisa dicontohkan homeschooling seperti
marak disekolahnati masyarakat saat ini.
c. Analisa Tugas
Komponen-komponen pengajaran yang penting menurut pandangan behaviorisme adalah
kebutuhan akan:
(1) Perumusan tugas atau tujuan belajar secara behavioral.
(2) Membagi “task” menjadi “subtasks”.
(3) Menentukan hubungan dan aturan logis antara “subtasks”.
(4) Menetapkan bahan dan prosedur pengajaran tiap-tiap “subtasks”
(5) Memberi “feedback” pada setiap penyelesaian “subtasks” atau tujuan-tujuan
tiap kompetensi dasar.
Salah satu fungsi guru yang terpenting setelah ia
menenetukan tujuan ialah menganalisa tugas. Analisa tugas akan membantu guru
dalam membimbing belajar murid. Bagi penyusun program, analisa tugas membantu
menentukan susunan bahan pelajaran dalam mesin mengajar. Perencanaan kurikulum
dapat mengatur urutan unit-unit belajar.
Implementasi Teori Belajar Behaviourisme dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek
pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan
pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman
Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi,
pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai
dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi
pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Gagasan-gagasan seperti yang telah dikemukakan oleh para pencetus aliran
behaviorisme seperti Thorndike tentang perlunya bantuan guru untuk menciptakan
prilaku siswa, perlunya keterampilan-keterampilan yang dilatihkan, dan disiplin
mental menjadi dasar bagi pengembangan aliran behaviorisme di sekolah. Di
samping itu, gagasan Guthrie tentang perlunyareinforcement dalam
pembelajaran sampai saat ini diakui menjadi sebuah hal yang sangat penting
dalam kegiatan pembelajaran. Lebih dari itu gagasan Skinner tentang perlunya
pengaturan pembelajaran oleh guru, respons aktif dari siswa, adanya feedback
setelah adanya respons dari pembelajar dan kebebasan siswa dalam mempelajari
materi sesuai dengan ritme pembelajar menjadi dasar bagi pengembangan kurikulum
di Indonesia.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai
pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang
belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih
dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan,
sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri
siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan
pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran
menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi
buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil
belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara
terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara
“benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa
secara individual.